Persepsi dan Kebiasaan Belajar Siswa Indonesia Miris gan..!!!
Posted by Unknown on 00.59 with No comments
"Pendidikan Indonesia Gawat Darurat!"
Itulah pernyataan yang disampaikan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia, Anies Baswedan pada Desember 2014 silam. Pernyataan yang
cukup frontal. Apakah benar pendidikan Indonesia segawat darurat itu?
Mari
kita cek performa pendidikan negeri ini. Pendidikan Indonesia menempati
peringkat kedua dari bawah (64 dari 65 negara) pada riset internasional PISA
2012 (Program for International Student Assesment) yang membandingkan
kemampuan akademis siswa berumur 15 tahun di berbagai negara dalam bidang
matematika, sains, dan membaca. Peringkat bontot juga diperoleh Indonesia pada
riset-riset pendidikan lain, seperti Learning
Curve – Pearson 2014 (ranking 40 dari 40 negara), Universitas21 2014 (ranking 48 dari 50
negara), TIMMS 2011 (ranking 38 dari 42 negara untuk
matematika, 40 dari 42 negara untuk sains), dan PIRLS 2011 (ranking 41 dari 45 negara). Sedih men!
Ada apa
yang sesungguhnya terjadi dengan pendidikan negeri ini? Sebenarnya apa sih
pandangan pelajar Indonesia sendiri terhadap kegiatan belajar yang mereka
jalani sehari-hari? Bagaimana pula kebiasaan mereka dalam menjalani proses
tersebut?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, Zenius Education mengadakan survei kepo berjudul
“Survei Pandangan Siswa/i tentang Sekolah, Guru, dan Orang Tua” pada
akhir tahun lalu. Masih ingat dengan survei tersebut? Mungkin lo adalah salah
satu respondennya. Dibuka mulai 22 September 2014 hingga 15 Desember 2014,
Zenius berhasil mengumpulkan jawaban dari 1340 responden pelajar dari seluruh
pelosok Indonesia, dari Aceh sampe Manado. Kami excited dan
berterima kasih banget atas antusiasme kalian. Format survei yang panjang
sepertinya tidak mematahkan semangat para pelajar untuk mengisi survei tentang
kegiatan belajar mereka sehari-hari. Mungkin sekalian curcol atau emang seneng
dikepoin. Ciee ga ada yang ngepoin.
Setelah
ribuan data yang masuk dianalisis dan digodok dalam waktu yang cukup lama,
survei ini berhasil menyingkap berbagai temuan menarik. Seperti yang tertulis
pada pengantar survei, kami berharap berbagai temuan menarik mengenai kegiatan
belajar ini bisa tersebar luas karena merupakan curahan hati para pelajar
Indonesia. Oleh karenanya, kami mengemas hasil survei dalam bentuk infografik
agar menarik untuk dibaca dan gampang disebarkan melalui berbagai social
media.
Jika
kalian masih ingat dengan kontennya, survei terbagi menjadi 3 bagian, yaitu
tentang kegiatan sekolah, guru, dan orang tua. Kami akan mengawali laporan
survei tentang Sekolah. Bagian Sekolah juga akan dibagi lagi menjadi hasil
temuan tentang belajar, tugas, dan pelajaran sekolah.
Tulisan
kali ini akan khusus mengulas hasil temuan tentang persepsi dan kebiasaan
belajar responden pelajar Indonesia. Selain berhasil menyingkap hal tersebut,
kita juga melakukan sedikit perbandingan antara Zenius user dan non-user untuk
mengetahui apakah cara pengajaran Zenius selama ini dapat secara efektif mengubah
persepsi siswa tentang belajar.
Harap diingat untuk tidak serta-merta melakukan generalisasi
dalam menginterpretasi hasilnya mengingat survei ini disebarkan secara online
melalui social media Zenius dan teman-teman yang bersedia membantu menyebarkan
survei ini.
Baiklah,
mari kita mulai dengan temuannya.
Data Demografi Responden
Kebanyakan
responden merupakan siswa kelas 12 SMA. 61% responden bukan Zenius user sehingga
kita bisa memperoleh data yang lebih representatif tentang pelajar Indonesia
secara keseluruhan. Sisanya, 39% responden merupakan Zenius user. Rasio
responden yang lumayan berguna untuk membandingkan kebiasaan dan persepsi
belajar pengguna Zenius dan bukan pengguna Zenius. Selain itu, antusiasme
ternyata tidak didominasi pelajar ibu kota saja, dimana ternyata 66% responden
berasal dari kabupaten/kota.
Apa saja yang pelajar lakukan di dalam kelas?
Yang
sering dilakukan responden di dalam kelas adalah Merhatiin Guru.
Ga bisa dipungkiri, pengajaran sistem pendidikan Indonesia masih
berorientasi pada satu arah, yaitu dari guru ke murid. Guru adalahcenter
of attention di kelas. Siswa menunggu instruksi dari guru. Sepertinya
jika tidak ada guru, tidak ada belajar. Tapi tidak dapat diketahui, apakah
mereka yang Merhatiin Guru ini benar-benar tertarik dan mengerti dengan apa
yang disampaikan gurunya. Atau melakukannya hanya sekedar kewajiban dan takut
ditegur pak dan bu guru.
Hal
kedua yang dilakukan responden di dalam kelas adalah Mencatat. Ga
tau juga apakah ketika mencatat mereka sudah memahami benar materi yang dicatat
atau sekedar menyalin tulisan yang ada di papan tulis atau yang didiktekan
guru. Ditemukan juga bahwa pelajar cewek lebih rajin mencatat daripada pelajar cowok
meskipun presentasenya tipis. Mungkin ini sengaja dilakukan para pelajar cowok
sebagai modus buat PDKT cewek.
Co: “Eh pinjem catatannya dong”.
Ce: "Buat apah?"
Co: "Ya buat disalin lah. Menurut lo?! Mmmmm...
buat disalin ajah. Oya sekalian minta id Line lo donk. Kalo mau balikin, nanti
gue chat"
Tak lama kemudian mereka jadian. Tamat. :v
Ce: "Buat apah?"
Co: "
Tak lama kemudian mereka jadian. Tamat. :v
No 3
adalah Diskusi Pelajaran. Hal ini sebaiknya makin sering dilakukan
di dalam kelas. Melalui diskusi, kita bisa memperkaya pengetahuan dengan saling
bertukar pikiran dan mengetahui apakah pemahaman kita terhadap suatu materi
sudah benar atau tidak.
Walaupun top
3 adalah hal yang menyangkut belajar, responden mengaku juga melakukan
hal lain yang ga ada kaitannya dengan belajar. Mereka suka Gosip dengan
Teman, bukan soal pelajaran. Ya kira-kira ngegosip ala-ala pemain sinetron
seputar permasalahan kehidupan remaja kekinian. Selain ngegosip, sebagian
responden mengaku gak bisa lepas dari smartphone, mereka juga
suka mencuri waktu untuk Main Hape di Kelas. Entah itu buat
main game (mulai game yang agak keren dikit CoC sampai dengan
Let's Get Rich), dengerin musik mellow buat mengenang
mantan, chatting sama pacar (orang), sampeupdate
status dan foto selfie (yang udah diedit ribuan kali)
ke social media.
Statistik Belajar Mandiri
Sekolah
dan kelas memang tempatnya para siswa untuk belajar. Tapi bagaimana selepas jam
sekolah? Apakah mereka juga meluangkan waktu untuk belajar mandiri tanpa
bantuan guru atau tutor les?
Wah,
gue melihat temuan ini dengan ironis, miris, nangis, ternyata di sebelah ada
bawang yang diiris-iris :v. Oke garing. Tapi serius cuma 30%!?
Hellowww!!! Iya sih gue ngerti, sebagai seorang remaja, ada segudang
kegiatan lain yang bisa kalian lakukan dan bermanfaat untuk pengembangan diri,
selain belajar. Tapi ini cuma 1 jam/hari lho. Gue menerka-nerka beberapa
penyebabnya. Mungkin jam sekolah sekarang terlalu panjang dan beban
pelajarannya terlalu berat sehingga para pelajar udah capek duluan, jadi ga ada
energi lagi buat belajar. Atau..apakah “belajar” udah jadi momok yang
membosankan dan malesin sehingga hanya sedikit responden yang mau meluangkan
waktu sejam aja per harinya buat belajar mandiri? Tapi jadinya belajar di luar
sekolahnya kapan dong. Pas mau ujian aja? Hemh..
Ini
kayak lo dateng ke kekasih karena pas lagi butuh aja, butuh duitnya lah, butuh
perhatian lah, bukan dateng karena cinta. Dalem...
Trus
kalo ga belajar, mereka ini ngapain aja kegiatannya di luar sekolah?
Kegiatan lain mereka selain belajar?
Ternyata
eh ternyata. Kebanyakan malah asik Internetan! Sebanyak 71%
responden meluangkan waktu minimal 1 jam/hari buat fun browsing.
Kegiatan lain no 2 adalah Ketemu Teman. Melihat pentingnya
sosialisasi untuk mengasah kemampuan komunikasi, kayaknya ga bosen ya ketemu
teman di sekolah, di luar sekolah pun masih lanjut nongkrong lagi. Terakhir,
67% responden meluangkan waktu minimal 2 jam dalam seminggu untuk Menyalurkan
Hobi, entah itu ekskul sekolah, olahraga, musik, dsb. Moga-moga
ngepoin mantan itu ga dianggap hobi.
Oiya,
bocoran dikit nih. Pada survei kemarin, 82% responden mengaku Ga Pernah Ketemu
Pacar. Pantesan niat banget isi survei panjang2, karena ga ada yang sibuk minta
perhatian ya, mblo? :p
Perbandingan jam belajar mandiri user zenius
vs non-user
Masih
seputar belajar mandiri. Selanjutnya kita pengen tau nih apakah ada perbedaan
antara kebiasaan belajar user zenius dengan non-user zenius.
Ternyata perbedaannya lumayan mencolok.
User zenius belajar mandiri lebih banyak dan lebih lama (70%)
dibanding non-user zenius. Hanya 30%user zenius yang
belajar kurang dari 1 jam per hari. Seperti yang bisa diintip di twitter zenius, tiap
hari ada aja mention dari para user zenius yang
bilang kalo mereka lagi keasikan belajar ditemani zenius. Video yang menekankan
pada konsep membuat learning experience jadi menyenangkan.
Kalo istilah mereka sih, “pacaran sama zenius”. Hahaha. Ada-ada aja.
Gue
penasaran sama istilah ini. Akhirnya dari salah satu tulisan blog peserta Kompetisi Blog Zenius tempo
lalu, gue jadi tau kalo “pacaran sama zenius” itu maksudnya begini:
“Pernah ngga lo terbayangkan kalo laptop bisa
ngejelasin lo sebuah materi yang sama sekali ngga lo ngerti dan bahasa nya asik
banget lagi berasa ngobrol sama pacar *Ea.”
Lama-lama
gue jadi takut nih kalo nanti akhirnya banyak anak-anak yang diputuskan
gara-gara mau pacaran ama zenius :p Okay ada satu lagi alasan mutusin pacar
selain "kamu terlalu baik buat aku".
Selain
itu, lewat value yang sering ditekankan Zenius, seperti deliberate practice dan belajar
mengandalkan curiosity,
kayaknya tidak mengherankan lebih banyak user zenius yang mau meluangkan waktu
untuk belajar mandiri, sekalipun tidak ditemani video zenius.
Apakah belajar sendiri itu membantu?
(Perbandingan zenius user vs non-user zenius)
Karena
sudah terbiasa dan ketagihan belajar mandiri, responden yang merupakan user zenius
lebih merasakan manfaat belajar mandiri dibandingkan non-user.
Sementara, 70% non-user zenius tidak merasa belajar mandiri
itu membantu. Keliatannya mereka masih bergantung pada faktor eksternal,
seperti adanya instruksi guru atau bantuan tutor les dan teman, baru bisa
merasa beneran belajar.
Apa motivasi mereka untuk belajar?
Sayangnya,
motivasi utama responden pelajar Indonesia untuk belajar masih didominasi oleh
faktor eksternal (motivasi dengan kontrol luar yang tinggi). Seperti yang telah
dijabarkan Wisnu tentang apa yang
bikin kita termotivasi, motivasi itu terbagi jadi level 0-5.
Belajar demi cita-cita, demi orang tua, dan demi nilai bagus merupakan
motivasi level 4, 2, dan 3.
Tiap
tahunnya, orang tua, guru, bahkan para pelajar sendiri selalu mengeluhkan
betapa malasnya mereka. Lalu mereka pusing mencari cara agar bisa tekun
belajar. Sayangnya, segala usaha itu dilakukan dengan tujuan agar si anak dapat
nilai bagus. Rasanya jarang sekali gue menemukan orang tua, guru, bahkan
pelajar itu sendiri yang pengen tekun belajar agar bisa menghargai ilmu
pengetahuan itu sendiri.
Level
motivasi tertinggi yang didorong dengan faktor intrinsik (kemauan dari diri
sendiri buat belajar),Belajar itu Menyenangkan, malah menempati
peringkat bontot pada survei ini. Padahal level motivasi ini memiliki tingkat
otonomi yang tinggi dan ga membutuhkan kontrol luar. Seseorang yang punya level
motivasi ini pasti udah belajar duluan tanpa perlu diiming-imingi hadiah,
disuruh ortu, atau hanya sekedar cari nilai bagus. Ketika proses belajar
didorong atas kehausan akan ilmu itu sendiri, nilai bagus mah hampir
pasti sudah di tangan, orang tua jadi bangga, dan kalian akan berada
di right track menuju cita-cita kalian.
Sama
nih seperti cinta yang berasal dari dalam hati, ia ikhlas memberi, melayani,
dan mengasihi tanpa mengharap balas. #apasih
Belajar itu menyenangkan ga?
Responden
yang memilih motivasi belajar karena “Belajar itu menyenangkan” mungkin
sebagian besar adalah user zenius (60%). Sementara, 60% non-user menyatakan
sebaliknya. Sepertinya, selama ini kebanyakan responden non-user Zenius
masih study bukan learn, jadi
belum mengerti indah dan nikmatnya meresapi sebuah pengetahuan baru.
Apa belajar untuk nilai bagus di sekolah?
Nah,
kalo lo lihat sekilas mungkin agak aneh karena justru hanya 60% dari
zenius user yang menjadikan nilai yang bagus sebagai tujuan dari belajar.
Sementara ada 70% non-user yang menjadikan tujuan dari belajar adalah untuk
mengejar nilai. Bagi masyarakat awam yang melihat data seperti ini mungkin
berpikir bahwa user zenius malah gak semangat untuk mengejar nilai. Tapi bagi
kami (sebagai institusi pendidikan) justru senang dengan data seperti karena
memang selama ini kami (zenius) selalu mengkampanyekan sebuah perspektif baru
bagi para pelajar, bahwa tujuan yang paling penting untuk dikejar dalam belajar
bukanlah nilai akademis, melainkan ilmu yang didapatkan itu sendiri.
Dari
data seperti ini, kita bisa ngeliat bahwa user zenius tidak menjadikan nilai
sebagai indikator yang paling utama dalam belajar tapi justru mengejar sesuatu
yang lebih penting daripada sekedar nilai akademis, yaitu kesenangan dalam
proses belajar itu sendiri.
Apakah merasa lebih jago dalam bidang akademis
disbanding teman yang lain?
Responden
yang merupakan user zenius lebih percaya diri (40%) mengklaim
dirinya lebih jago dalam bidang akademis dibandingkan non-user (30%).
Ciee, habis nonton video zenius.net ya semalam..
Apakah puas dengan nilai dan usaha yang
dikeluarkan di sekolah?
Sebuah
temuan lain yang menurut gue juga cukup ironis. Setelah belajar di sekolah dari
pagi sampai sore, lanjut buat bimbel sampai malam (atau malamnya malah asik
internetan), 7 dari 10 responden pelajar Indonesia mengaku tidak puas dengan
nilai dan usaha yang dikeluarkannya di sekolah.
Fakta
ini sebenarnya cukup wajar mengingat masih banyak responden yang belajar karena
terpaku pada nilai. Ketika seseorang melakukan sesuatu karena terlalu fokus
pada suatu tujuan, biasanya dia akan "menghalalkan" segala cara agar
tujuan itu terpenuhi, seperti hanya sekedar menghafal, bikin contekan, hingga
menyalin jawaban teman pas ujian. Tidak jarang, hal inilah yang menggagalkan
dia mencapai tujuannya. Malahan cara-cara tersebut pada akhirnya
tidak akan membuat mereka merasa belajar. Mereka tidak bisa menikmati prosesnya.
Jika akhirnya mereka berhasil meraih tujuannya, tingkat kepuasannya
rendah, “Oh cuma begini aja”. Ya begitulah, seperti cinta yang
mengharapkan pamrih, dia tak akan pernah cukup. Kok cinta-cintaan mulu sih -_-
Life is never about the goals themselves. Life is about the
journey. Dan sebagai seorang pelajar, perjalanan itu sudah
sepantasnya adalah "bercinta" dengan pengetahuan itu sendiri.
Sehingga kepuasan belajar dan bersekolah tidak sekedar buat cari nilai dan
mendapatkan sertifikasi kelulusan, tapi kepuasan belajar sesungguhnya adalah
ketika kita bisa mempelajari pengetahuan sebanyak mungkin yang didorong dengan
rasa ingin tahu dan penghargaan pada ilmu pengetahuan itu sendiri.
****
Creator : Fanny Rofalina
Tambahan Blogger:
Menurut agan/Sisi apakah pantas kalo pendidikan Indonesia gawat darurat? Apakah wajar dengan persepsi
dan kebiasaan belajar yang dipaparkan di atas, pelajar Indonesia memiliki
kinerja buruk pada berbagai riset pendidikan internasional? Untuk
mengatakan pendidikan negeri ini gawat darurat, kita memang harus melihat
berbagai aspek, mulai dari tidak meratanya persebaran infrastruktur dan akses
pendidikan, kualitas guru, sampai masalah-masalh birokrasi. bisa dibilang survei ini
belum bisa merepresentasikan kondisi pendidikan di Indonesia secara
luas. Cuma.., moga-moga survei ini bisa membangun perspektif tersendiri yang
baru, terlebih tentang persepsi para siswa/siswi dan agan/Sisi tentang belajar
itu sendiri. amin..
Ane juga senang dan bangga karena survei dari zenius ini mengungkap bahwa upayanya (zenius) selama ini tidak sia-sia,
terutama dalam hal mengubah paradigma belajar siswa Indonesia untuk
tidak memandang belajar sebagai sebuah beban yang harus dilalui dengan
penuh keterpaksaan, melainkan justru sebagai sebuah proses yang
menyenangkan. Dengan begitu, motivasi belajar tidak lagi bergantung pada faktor
luar, seperti guru, orangtua, nilai akademis, dlsb. Tapi justru motivasi
itu otomatis sudah datang dari dalam diri sendiri, tanpa perlu disuruh atau
dipaksakan. Semoga pelajar di Indonesia dapat menikmati proses
belajarnya, bukan sebagai sebuah kewajiban tapi sebagai suatu hal yang
benar-benar menyenangkan..!!
Semoga bermanfaat gan..
Mohon bantuannya di share ya.. ^_^
"Orang bijak selalu tinggalkan Jejak"
Categories: Motivasi
0 komentar:
Posting Komentar